Menulis adalah caraku mengabadikan pengalaman agar tak lupa dari ingatan. Ini adalah rumah mayanya D dimana D nyaman memperlihatkan isinya. Blog ini berisikan tentang kehidupan D. Mix and fun. Macam-macam. Pemikiran saya. Kejadian sehari-hari. Review film, buku, tempat. A box of chocolate.

Sunday 2 April 2017

10 hari Nge-drama di Jepang




Disclaimer : ini bukan cerita tentang shooting drama di Jepang ya. Tapi tentang perjalanan trip saya tahun 2016 yang entah kenapa, penuh dengan drama...yang berakhir menyenangkan! 

Bener-bener ya, Allah itu akan mengabulkan doa kita. Sekecil apapun, se-bisik apapun kita mengucapkannya. 

Selepas trip di tahun 2011 itu, tekad saya kan memang ingin pergi ke Jepang lagi dengan biaya sendiri dan ingin lebih berkesan di hati. Enjoy it Dit, perjalanan kali saking berkesannya sampai penuh drama banget! :)) Kadang menegangkan, kadang bikin emosi. Tapi kalau dipikir-pikir lagi ya, kan ini yang saya inginkan. Hahaha. 

Untuk cerita trip lengkap saya dan rombongan pergi kemana saja di Jepang, bisa lihat postingan yang ini. Tapi ternyata di postingan itu, drama-drama yang terjadi sepanjang perjalanan rombongan kami kok ya gak terekam sama sekali. Jadi, saya akan buat postingan ini khusus menceritakan drama-drama yang terjadi, sehingga kamu (dan saya) bisa menghindarinya lain kali. Karena sekaligus merupakan tips dan trik buat pergi wisata. 

First thing first. Kalau berpergian wisata, bukan hanya ke Jepang, tapi ke negara yang bukan negara sendiri dan akan menghabiskan waktu lebih dari seminggu. Pastikan sehari sebelum berangkat, sudah benar-benar mempersiapkan diri. Packing sudah selesai. Yang bekerja harap cuti atau yang masih kuliah/sekolah harap ijin. Bukan apa-apa. Check and recheck semua persiapan itu perlu banget. 

Jangan tiru saya ya :)) 

Trip tahun 2011, besoknya mau berangkat. Jam 5 sore saya masih dinas di Padang dan terancam gak mendapat pesawat ke Jakarta karena ketinggalan pesawat. Kenapa saya senekat itu? Gak dapet cuti / ijin sehari sebelumnya. 

Trip tahun 2016, flight time jam 04.30 AM. Jam 6 sore saya baru selesai nutup laptop, langsung buru-buru ke Blok M untuk menukarkan rupiah ke yen (IYA! SAKING REBEKNYA 6 PROJECT KANTOR SEKALIGUS, SAYA BELOM SEMPET TUKER UANG SAMSEK #emosi). Sampai rumah jam 10 malam, sudah tidak sempat recheck apapun. Tidur sejam dua jam untuk siap-siap berangkat ke bandara. 

Pokoknya apapun yang terjadi, perjuangan sehari sebelum keberangkatan untuk bisa cuti dan recheck semuanya. Karena jangan sampai seperti saya, ada aja ketinggalannya. Ya make up lah, ya Untungnya sampai saat ini perginya dengan rombongan, gimana kalau rencana solo trip? 

#bhay

Tragedi boots ber-logam

Jangan, sekali lagi, jangan pakai boots yang ada logamnya nempel di boots. Sekeren apapun bootnya! Ini saya alami, saat trip 2016 kemarin. Boots yang sangat saya sukai karena keren banget itu, bikin malu aja karena harus dicopot di pemeriksaan imigrasi cobaaa! #CRY 

Coba di saat saya sedikit panik dan malu, ya mau gak mau harus copot boots dan nyeker. Sementara dilihatin orang dan diketawain temen sendiri. Sakitnya tuh di siniiii #mulaidrama 

Etapi untung saya mah orangnya agak cuekan ya. Jadi bapernya gak lama-lama dan yang ada saya nganggep kejadian itu super lucuuuu! Puas menertawakan kemalangan diri sendiri, ya udah pasrah aja jadinya setiap ada pemeriksaan. 

boots keren yang bikin sedikit sengsara #bodoamat :)) 


Tragedi Arashiyama (alias kaki yang berulah) 

Percayalah, di setiap foto cantik. Pasti ada saja cerita di baliknya. Karena tujuan pertama kami di Jepang itu adalah hutan bambu Arashiyama yang sangatttt, sangattt kami inginkan. Begitu sampai di sana, kami sangat terpukau. Bodo amat sama turis-turis lain yang banyak dan merebut banyak spot foto. Bodo amat sama abang becak ganteng. Bodo amat sama..... aww! Pipit jatoh sodara-sodara!

Dari yang tadinya mengganggap itu super lucu karena posisi jatohnya yang mirip cicak (wkwkwk maafkan pipit, sampe sekarang saya masih anggap itu lucu). Sampai ternyata ketahuan kalau kakinya bengkak. Well foto-foto cantik jalan terus, keliling jalan terus. Tapi ya, lama kelamaan kan kakinya bengkak gak enak dipakai jalan. 

Ada setiap cerita di balik foto cantik :)) 

Jadi, seterpukau apapun, tetap aware dengan sekeliling ya. Bukan cuma untuk keselamatan kita. Tapi kan kita ada di negara orang juga. Jangan sampai nyusahin warga lokal. Atau misalkan seenaknya senggol sana-sini, Ikuti peraturan, misalkan jangan buang sampah sembarangan dan sampah harus dipisah-pisah. Kalau terbiasa, nanti enak kok dibawa kebiasaannya ke Indonesia. 

Seriously, bawa obat-obatan itu penting banget. Bawa obat pereda nyeri macem counterpain atau obat pereda nyeri lainnya itu jangan cuma 1 -2 tube. Saya rasa bawa 5 atau 7 atau 10 itu gak berlebihan. Kita kan hidup di Indonesia Jakarta dimana kita terbiasa naik ojek/taksi/angkot untuk bepergian kemana-mana. Kalau di negara lain, trem / kereta jadi andalan untuk transportasi. Selebihnya? Ya jalan kaki lah! 

Sebagai gambaran, saya sampai turun 3 kilogram selama 10 hari di Jepang karena kemana-mana jalan kaki. Dan persediaan salep pereda nyeri kami habis di tengah-tengah perjalanan. Sempat mendapat pinjaman salep dari Mba Ebe, ujung-ujungnya pada waktu kaki Lely mulai sakit di Tokyo karena kebanyakan jalan. Saya dan Pipit sampai harus putar-putar 4 minimarket untuk menanyakakan apakah ada salep untuk kaki yang sakit. Karena lagi panik dan capek juga, blank ilang dong itu kemampuan bahasa Jepang yang cuma segitu-gitunya. Alhasil kami cuma bisa berbahasa tarzan campur English aja ke setiap kasirnya menanyakan salep pereda nyeri. Yang berujung dapet gebetan kasir AEON mini market yang super cute LOL. 

Vitamin juga penting banget. Karena sesungguhnya berwisata itu merupakan perjalanan fisik. Di ujung perjalanan, kami semua drop dan mulai flu berat. 

Persiapan fisik menjelang keberangkatan juga perlu. Intinya, jangan malas olahraga sih. 

Koneksi itu PENTING banget. 

Di trip tahun 2011, saya sudah menyiapkan koneksi selama seminggu di Jepang dengan paket dari provider yang memberikan 3 hari gratis dan sisanya 50ribu/hari. Berarti sisa 3 hari lainnya, saya hanya bayar 150ribu untuk total pemakaian seminggu.

Trip tahun 2016, saya dan rombongan benar-benar nekat untuk ngandelin wifi gratisan saja di sana. Yang mana hal ini sama sekali tidak dianjurkan! #emosisamadirisendiri 

Jadi, seperti yang sudah saya sebutkan. Karena kali ini saya dan rombongan sudah plan ini itu, sudah memikirkan segala antisipasi yang ada. Sudah masukin peta dan segala macam screencapt alamat dan tetek bengek itinerary. Terus kenekatan saya ditambah dengan pemikiran akan berangkat dengan Donna yang notabene udah paham Jepang banget karena udah tinggal di sana selama 8 tahun? Intinya sih, persiapan yang sangaatttt matang harus dilakukan. Cuti 1 hari lahh buat recheck everything. 

Sekarang malah banyak ditawarkan pocket wifi untuk bepergian ke Jepang. Saya banyak dapat informasinya. Harganya pun bervariasi, mulai dari 46ribu - 150ribu per hari. Kita cukup deposit 1juta saja dan bisa didapatkan di counter-counter terdekat (teman saya, dapat di Kota Kasablanka). Deposit tersebut akan dikembalikan pada saat pemulangan pocket wifi itu. 

Karena kenekatan saya terhadap koneksi ini. Alhasil drama-drama ini pun terjadilah : 

Sunrise Guest House di Kyoto. 

Hari pertama Pipit udah jatoh dan kakinya bengkak. Sepulang trip hari pertama yang udah capek dan lelah. Kami jemput dan geret-geret koper sepanjang apartemen Donna - Stasiun Kyoto - Sunrise Apartemen. Yang mana, begitu keluar dari pintu barat Stasiun Kyoto, kami tidak bisa menemukan Sunrise Guest House itu dong. #CRY 

Sudah setengah jam jalan, putar sana dan sini, kami pun sudah capek dan Pipit yang sudah gak sanggup jalan karena kakinya makin bengkak. Akhirnya kami bertanya pada orang Indonesia yang kami temui di Sevel. Mereka pun gak tahu dan menyarankan kami naik taksi. Mewah banget sih dit pake taksi segala! (FYI : taksi di Jepang itu terkenal mahal) 

Tapi karena dapat informasi dari kenalan kami itu, mereka menginformasikan kalau ongkosnya gak akan lebih dari 700 yen saking deketnya. 

Dianterin ke taksi, dibantuin jelasin ke drivernya kalau alamatnya adalah yang kita pegang di hape. Drivernya pakai GPS dan kita selamat diantarkan sampai gang menuju apartemen. Ongkosnya kurang lebih 700 yen sekian sekian. Selesai sampai di situ? 

Tentu tidak! 

Karena sesampainya di apartemen, kita gak bisa masuk dong ke apartemennya! Padahal udah yakin banget cara masuknya dan dimana naro kuncinya. Sudah ngapalin luar dalam di Indonesia. Terus 2 hape mati karena lowbat. 1 hape yang hidup gak bisa cek email mau memastikan alamat apartemennya. Gedor-gedor pintu apartemen, buka paksa semua loker kunci, bolak balik ke depan gang untuk mastiin alamatnya,  Ditambah di ujung gang ada yang baru mengadakan upacara kematian sehingga dipajang besar-besar foto nenek tua yang mukanya serem banget (maafin ya Nek, untung saya gak lihat biar gak kepikiran)  Udah mau mati aja rasanya.... 

Malaikat penolong datang berwujud 3 orang cewek-cewek-cowok Jepang yang melihat kegelisahan kami. Kami sambar dong kesempatan itu dengan bertanya. Yang berujung kami mendapatkan informasi....apartemen yang kami tuju adalah apartemen di sebelahnya! Huhuhu bodoh banget sihh...Gila udah super panik. 

Untungnya apartemennya super nyaman dan hangat. Jadi setelah beristirahat dan makan dan repacking sebentar kami bisa tidur lelap. 

Yang mana, pada saat saya check maps besok paginya menggunakan wifi yang tersedia. Apartemen ini bener-bener hanya 10 menit saja dong dari Stasiun Kyoto #nangisgulinggguling 

Jadi keluarnya harus dari pintu utara lalu tinggal luruuuuus saja. Sudah ketemu itu gang apartemen kami. Warbiyasak. 

Duo Lepit yang berpose di depan Sunrise Guest House. 
Rekomen banget kalau ke Kyoto nginepnya di sini. 

Tragedi tidak ada wifi di Kyoto juga masih berlanjut pada saat kami pindah ke Tokyo. Karena geret-geret koper. Ditambah kaki saya yang sudah mulai sakit, di hari kami pindah ke Tokyo saya sempat terpisah dengan Pipit dan Lely dong! #cryagain 

Karena saya jalannya sudah lambat dan sakit banget, Leli dan Pipit yang sudah jauuuuh di depan tidak bisa saya kejar. Saya pun masuk ke pintu utara Stasiun Kyoto seperti biasa. Tidak menemukan mereka, sempat panik dan putar-putar di area Starbucks sampai 10 menitan. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk langsung menuju peron saja untuk bergabung dengan Donna dan Mba Ebe. 

Yang mana Pipit dan Lely baru datang setelah hampir berangkat. Huhuhu. Coba kalau ada wifi, pasti kita gak cari-carian seperti ini. Kita bisa telpon pake Line or whatsapp or pake aplikasi chat apapun. 

JRPass yang (sempat) Hilang. 

Pada saat pertengahan perjalanan, JR Pass nya Donna hilang! Baru nyadar pas kereta udah mau berangkat dari Osaka ke Tokyo. Karena kita biasa check dan recheck JR Pass masing-masing di kereta. Sudah dicari sepanjang peron dan sepanjang gerbong gak ada. Makin panik dong. 

Akhirnya saya dan Donna melapor ke pos station dan menjelaskan situasinya. Donna panik banget ketahuan dari penjelasannya yang super cepat pada petugas. Saya pun panik sih, tapi karena gak bisa ngomong Jepang ya udah pasrah hanya bisa menemeni Donna dan diam saja. Kita pun dikasih keterangan notes resmi saja kalau Donna sudah melalui pemeriksaan resmi dan bisa naik kereta.


Dalam waktu 3 menit kurang (karena jam keberangkatan udah pasti), itu JR Pass ketemu dan langsung dikasihin ke kita langsung di tempat duduk. Semua petugasnya 3 orang mas-mas, 1 orang kakek dan 1 orang mba-mba ngasihin langsung di kursi kita! Jadi JR Passnya memang jauh, lalu ditemukan oleh petugas peron dan diberikan ke pos station! 


Menit-menit yang menegangkan sekaligus penuh keajaiban karena kita udah tahu konsekuensi JR Pass ilang bisa berantakan semua itinerary selanjutnya (secara gak mungkin beli lagi karena mehong). Salut sama kerja cepet penuh koordinasi dari petugas stasiun. Pengen kita peluk rasanya itu mba, mas dan bapaknya :")

Tragedi Shibuya dan masjid Camii 

Masih seputar tragedi akibat tidak ada koneksi. Sebenarnya kunjungan ke masjid Camii itu tidak ada di dalam itinerary kami. Tapi karena sudah kepalang di Tokyo dan masa tidak mengunjungi mesjid terbesar pertama di Jepang. Pada malam ke-9 kami disana, kami memutuskan untuk mengunjungi masjid itu sepulang dari Odaiba. Yang mana, di Odaiba pun kami sebenarnya sudah sangat lelah dan sakit kaki. Tapi jam baru menunjukkan pukul 7 lho sebenarnya. 

Jadi sebelum pulang ke apartemen di Shinjuku, kami turun di Shibuya, karena hasil googling-googling malam sebelumnya mengatakan masjid Camii itu ada di daerah Shibuya. Kami turun dan bertanya kepada petugas di sana mengenai masjid tsb. Petugasnya tidak tahu keberadaan masjid tersebut, tapi mengenali alamatnya dan menyebutkan bahwa itu jauh. Jalan kaki bisa satu jam lebih. Tidak mau mengambil resiko, kami pun order taksi...again! Horang kayah yaa...

Perjalanan memakan waktu setengah jam dan menghabiskan tarif 3000 Yen sekian sekian. Karena sampai di sana sudah jam 7.30 JST. Mau shalat isya pun tidak bisa karena ditutup, ya sudah kami memutuskan pulang dan berniat berkunjung keesokan harinya. Naik taksi lagiiii. 

Keesokan harinya, kami langsung memutuskan untuk berangkat ke Masjid Camii karena waktu pun sudah menunjukkan pukul 10an lebih, bisa ngejar waktu shalat Dzuhur. Masih naik taksi, dan pulangnya kami memutuskan untuk coba naik kereta hasil saya googling malam-malamnya. 

Ternyata oh ternyata, stasiun keretanya ada di belakang Masjid Camii dong dong dong! Cukup melakukan U turn ke arah kiri, kita sudah sampai ke Stasiun - yang-saya-lupa-namanya-nanti gampang googling lagi- 

Dengan tiket hanya 10ribuan saja, sudah bisa sampai ke stasiun Shibuya lagi dong! hahaha. #ketawamiris #totalnaektaksisejutaan 

Di Tokyo itu, ada 3 perusahaan kereta dengan line yang berbeda-beda. Jadi, bakalan kece badai kalau paham dengan 3 line tersebut. Karena semua penjuru Tokyo bisa dicapai dengan transit antar line-line tersebut. Ya sekarang sih saya sudah paham, tapi tapiii, udah terlanjur naek taksi 3 kali aja dongg. haha, Yaudah lah ya hikmahnya jadi merasakan naik taksi di Jepang. 

Oiya, Uber pun sudah mengumumkan secara resmi kalau mereka beroperasi di Jepang. So, alternatif pilihan lainnya nih. Yang penting koneksi internetnya ya gaesss.

(PS : barusan saya check tarif dari Shibuya Station ke Tokyo Camii itu tarifnya 1900-2500 Yen. Well, hampir ga beda jauh sama taksi sih ya. Bedanya kita bisa dapet van yang mana, kalau orangnya 5-6-7 orang bakal lebih murah dari taksi. Sebagai alternatif).

Dengan interior dan exterior kaya gini, 
worth it banget segala perjuangan ke Tokyo Camii ini


Tragedi Cuaca dan Fisik yang kurang Fit. 

Seperti yang sudah saya bilang, fisik yang fit itu mutlak diperlukan pada saat berwisata. Pada saat hari-hari terakhir, kami semua nge-drop dan mulai sakit bergantian. Yang mana saya pun sudah mulai merasakan tanda-tanda sakit bulanan. Lengkap sudah. Ya lagi gak fit, lalu terkena cuaca winter. 

Tragedi akibat cuaca ini mencakup 

- Di apartemen di Shinjuku, malam pertama kami sangat kedinginan luar biasa karena menurut informasi, salju sudah akan turun di minggu itu. Tidur dengan keadaan capek dan super dingin. Saat di cek besok paginya ternyata jendela luarnya gak dikunci aja dong dong dong! :(( Gak kebayang jadi Pipit yang kebagian giliran tidur di bawah pas hari pertama itu. 
Besok-besoknya, dapat tambahan pemanas dan jendela sudah ditutup, amaan. 

- Pada saat kepulangan kami menuju bandara Tokyo, kami disambut oleh hujan salju yang lebaaaaat. Sudah capek dan gak excited karena mau pulang, kami pun mengerutu, ini salju dicari-cari dari kemaren malah ketemunya di sini. huftt. Eh gak bersyukur banget ya. Hahaha. Sepanjang jalan ke bandara salju sudah tebal. Lalu di halte bis bandara pun salju setinggi betis! Untungnya kita dibolehin naik duluan karena sudah punya tiket. Kebayang dong kalau kita harus nunggu sejam lagi sesuai jam keberangkatan yang tertera di tiket, bisa-bisa beku kali.  

- Transit pulang di Singapore, saya fixed dapat bulanan. Capek, badan kotor, sakit sekujur badan. Saya sudah gak perdulikan apapun. Berujung dengan jatuhnya Note phone saya! :(( bye bye my Note. Bye bye semua foto trip! 
Untungnya sebagian foto sudah saya backup ke grup WA, tapi tetep aja ada yang gak selamat... Hiks. 

Oleh-oleh dan persiapan cash. 

Serius, namanya sedang bukan di negeri sendiri. Harus banyak memperhitungkan segala sesuatunya. Jangan pernah sok-sokan menginap di bandara. Ya kalau awal trip masih OK lah ya, masih lucu. Bisa bilang 'gue pernah nginep di bandara' 

Tapi kalau nginep di bandara saat pulang sih saya gak menyarankan. Karena tadinya itulah yang kami rencanakan, flight time jam 9 pagi, hari itu kami sudah gak ada booking penginapan. Untungnya, karena kami semua sudah drop, akhirnya kami memutuskan untuk cari penginapan untuk 1 malam lagi. Dapat di daerah Shibuya. Mempertaruhkan semua credit card yang ada dan sisa uang untuk makan malam. 

Oiya, soal oleh-oleh. 

Sekarang ini kan gencar dilancarkan gerakan 'tidak meminta oleh-oleh untuk yang sedang berpergian wisata'. Dimana-mana banyak terbit artikel tentang ini dan alasannya. Salah satunya bisa dibaca di sini

Masuk akal sih sebenarnya, karena ya saya merasakan sendiri. Pergi wisata keluar negeri itu sangat menguras dompet lho. Apalagi kalau perginya karena memang ingin pergi ke negeri yang disukai dan pakai nabung dulu. Gak akan ada uang berlebih untuk beli ini itu. Bahkan untuk diri sendiri. 

Jadi ya minta oleh-oleh itu termasuk perbuatan kejam LOL. Saya pun gak pernah minta oleh-oleh special. Dapat masker lucu-lucu dan dompet kecil dari Korea, Spore, Thailand aja udah seneng minta ampun. 

Tapi ya sesungguhnya kita-kita yang pergi pun pasti kepikiran lho, untuk beliin oleh-oleh ini. Pasti kan kita mau beli barang lucu dan tanda kepergian untuk keluarga, untuk teman dekat, untuk atasan. Jadi tanpa diminta pun pasti oleh-oleh dibelikan. Asal jangan terucap aja ucapan "yaahh  kitkat greentea doang loe belinya' Pliss deh, pergi sendiri sono. 

Untungnya teman-teman saya gak ada yang seperti cerita di atas. Untungnya lagi di Jepang itu surganya barang-barang lucu. Jadi bisa dapat oleh-oleh yang memorable tapi tetep bikin kantong amaaan. 

Dan tragedi mencari oleh-oleh ini kami rasakan juga LOL. 

Di hari terakhir, kami baru panik mencari oleh-oleh untuk keluarga dan teman terdekat. Putar sana dan sini kami akhirnya cari oleh-oleh di Asakusa, dengan membobol uang simpanannya Pipit. 

Berkaca pada pengalaman itu, saya rasa menganggarkan 300-500ribu sehari selama di Jepang itu masih masuk akal lho. Sediakan juga cash yang cukup dan credit card untuk jaga-jaga ambil tunai (jaga-jaga aja).

Karena, uang bisa dicari. Tapi pengalaman tidak bisa tergantikan.... 
:) 

xoxo 
D

PS : 

Oiya sebenarnya ada satu tragedi yang cukup lucu dan tidak masuk kategori apapun. Jadi pada saat ke bandara, koper Pipit sempat keluar di jalan dong dong dong! :)) Kejadian itu dilihat oleh segerombolan anak sekolah yang langsung teriak. Driver taksi pun pucat dan langsung minta maaf berkali-kali. Padahal ya namanya juga accident. 

Kesemua tragedi di atas menyebalkan pada saat dialami, tapi sekarang diingat-ingat lagi ya kok sangat memorable :") 

Makin nyaman untuk trip ke Jepang dan makin nagih untuk pergi dan pergi lagi. Semua tragedi ini membuktikan kalau Jepang dan warganya memang sangat helpful untuk membantu wisatawan. Turis muslim pun makin diakomodasi oleh kementrian pariwisatanya. 

Ada doa terselip, semoga Allah memberi rejeki berlebih untuk saya dan keluarga. Jadi next time ke sini, bisa trip sekeluarga. Aamiin. 

No comments:

Post a Comment

Pages