Menulis adalah caraku mengabadikan pengalaman agar tak lupa dari ingatan. Ini adalah rumah mayanya D dimana D nyaman memperlihatkan isinya. Blog ini berisikan tentang kehidupan D. Mix and fun. Macam-macam. Pemikiran saya. Kejadian sehari-hari. Review film, buku, tempat. A box of chocolate.

Sunday 17 October 2021

Awal dari Segalanya. Dari Mana Kepatuhan Tiada Tara ini Terbentuk.









































Disclaimer: Sumpah demi Allah saya selalu mencintai orang tua dan keluarga saya, Postingan #healingprocess series ini saya buat untuk lebih memahami diri sendiri.

Rasa-rasanya mungkin sedikit berlebihan kalau saya bilang orangtua saya toxic. But I don't have better explanation than it. At least until now. 

It is true that my child experience was...that nightmare. I grew up with : 

- pertengkaran yang terasa tanpa akhir antara ibu dan ayah. Pertengkaran yang selalu berawal dari kurangnya moneter dalam keluarga kami. Membuat saya berpikir, dan mendapat pemahaman  mengenai uang yang salah sedari kecil. Saya beranggapan uang itu adalah dewa, dan tidak punya uang/hanya punya sedikit uang sedikit adalah aib tingkat tinggi. 


- kabur-kaburannya ibu saya (dan tentu saja ayah) dari para penagih hutang. As far i remember, tiada hari tanpa penagih hutang datang ke rumah. Mulai dari orang bank, debt collector, sampai para rentenir. Believe me i remember all of that! Padahal usia saya berapa sih waktu itu? TK? SD? Bayangkan anak SD melihat itu semua dengan kacamata kecilnya.

Kadang kami bersembunyi seharian di kamar gelap (sembunyi di kamar dan lampu kamar dimatikan agar seolah-olah ibu saya tidak ada di rumah dan ART kami memberitahu bahwa ibu saya pergi) saat para penagih hutang itu datang, seharian tanpa makan. Kadang ibu saya ketahuan dan para penagih hutang itu memaki-maki ibu saya. Juga melempar barang. Rasanya sangat sedih. 

For your information, terkadang pertengkarannya melibatkan saling membanting barang, piring dan peralatan pecah belah lainnya, pisau yang teracung (ibu pernah mengacungkan pisau ke dada ayah dan berdarah). Bisa dibayangkan setakut apa Ditya kecil pada saat itu :") 

Bisa dibayangkan bahwa Ditya kecil bertekad akan mempunyai banyak uang agar tidak terjadi hal yang sama terulang kembali. 

Dan saya tidak diberi penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi. Ibu selalu menutupi apa yang terjadi. SAMPAI SEKARANG. Sampai saat ini saya sudah berusia 36 tahun lebih, saya hanya mendapat 2 versi dari ayah dan ibu. Entah mana yang lebih benar, tho i kinda more believe Dad version :") 

Versi Ibu: 
(dan ini selalu diulang-ulang dalam cerita apapun, bahkan ketika saya pernah menanyakan pelan-pelan bahwa, apakah keluarga kami pernah ditimpa kesusahan, ibu selalu menjawab: tidak! Masa-masa itu hanya kesalahan sedikit saja, ini semua terjadi karena Ayah tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga) 

Ibu berbisnis, lalu ditipu temannya. Lalu datanglah teman Ibu yang bernama Tante Ani ini menawarkan bantuan, sehingga bantuan 20juta (di tahun tsb, tentu setara ratusan juta) tersebut menjadi hutang keluarga kami. 

Sertifikat rumah sempat tergadai karena memang dari awal nyicil rumah. Bla bla bla njelimet. 

Tahun-tahun krisis moneter juga berbarengan dengan sakitnya Mas Satri (adik saya) dan sakitnya Emak (nenek saya) 
(cerita tentang sakitnya adik saya sudah sekelumit saya ceritakan disini: My Family is Wonderful  

Versi Ayah: 

- Rumah kami sudah lunas sejak dari 2-3 tahun pernikahan ayah dan ibu. Seharusnya sudah tenang tidak ada cicilan apapun. 
- Ibu mencoba-coba berbisnis dengan banyak orang dengan memanfaatkan networking dari Mamah Eli (boss Ibu kala itu) 
- Meminjam uang (entah berapa) untuk mengeluarkan giro cek untuk vendor dan rekanan. 
- Sembarangan memakai uang tersebut, terjerat hutang yang lebih lagi (karena krisis moneter?). Lalu gali lobang tutup lobang dari banyak rentenir. 

Jadi gaji ayah hanya 2 juta, 1 juta lebihnya dipakai untuk bayar cicilan hutang rentenir dan kredit bank, sertifikat rumah terancam menjadi milik bank tho KPR sebenernya sudah lunas. 

Tentu saja kebutuhan sehari-hari jadi tidak tercukupi, akhirnya gali lobang lagi untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. 

Alhamdulillahnya itu semua sudah berlalu, tho lukanya ternyata masih menganga sangat, sangat dalam sampai sekarang... 

Ayah juga hilang kepercayaan pada Ibu, dan masa-masa sakitnya Mas Satri menjadi yang paling berat. 

So i just let them have argue up until now, gak tahu harus membela siapa. 

Semuanya menanggung luka yang sama. Saya hanya yakin, semua yang dilakukan keduanya demi rasa cintanya pada kami anak-anaknya. 

Saya pun tidak tahu harus mengkomunikasikan ini seperti apa kepada mereka karena saya pun harus mengurang benang kusut di diri ini sendiri terlebih dahulu. 

Saya jadi punya habit Yes Man untuk orang tua saya sedari kecil, karena saya tidak mau mereka sedih lagi, saya berusaha sekuat tenaga (dalam pikiran saya) untuk menjaga keutuhan keluarga (padahal sekarang mah ampunnn dah bodo amat daripada berantem terus saya cape, udah tua masih aja selisih paham) 

Tapi rasanya mulai sekarang saya harus berjalan dengan pikiran saya sendiri. Put my self first, because nobody will hurt if i did that :) 

(tentu saja dilakukannya dengan cantik, put my self first) 

(next, saya akan bahas kenapa kepatuhan tiada tara ini menjadi penyebab banyak masalah di hidup saya: mulai rasa tidak percaya diri, ketakutan akan pecahnya keluarga kalau tidak patuh, menjadi anak yang menutup diri dan super introvert, menjadi toxic person my self, and so on). 




















xoxo
D


Healing Progress: Part 1 of Many. 

No comments:

Post a Comment

Pages