Aku sekeluarga mengenalnya. Malah bisa dibilang penghuni 200an rumah disini mengenalnya..
Daerah perumahan kami di sini. Mungkin tidak ada di peta. Bogor. Bagi orang bogor sendiri kalau disebutkan nama cibalagung akan berkerut jidat "cibalagung? Dekat mana itu?". Kalau disebutkan lagi "daerah ciomas". Maka akan kembali didebat, "wah gak kebayang belah mananya ciomas". Maka bagi teman kerja atau orang yang baru mengenal keluarga kami,main ke rumah sekaligus jadi berwisata. Ya,wisata.
Karena kompleks cibalagung ini punya dua jalan. Jalan utama yang memang jalan yang sebenarnya diperuntukan sebagai jalan keluar masuk. Bisa dilalui mobil dan ada angkutan umum lewat di depan gerbang kompleks. Dimana harus berjalan sekitar 10 menit dulu kalau tidak punya kendaraan menuju gerbang kompleks. Dan jalan depan gerbang kompleks itu adalah jalan yang sangat kecil dan macet. Satu jalan lagi adalah jalan pintas . Menyebrangi sungai cisadane dan perkampungan penduduk. Menyebrangi sungainya menggunakan getek atau eretan atau apalah istilahnya. Bukan sampan atau perahu. Tapi semacam gubug seng yang dibawahnya dipasangi empat buah ban besar agar mengapung. Lalu gubug tersebut dikaitkan dengan tali yang membentang dari satu ujung ke ujung lainnya. Mang Ntis lah yang bertugas menarik tali tambang tersebut hingga orang-orang bisa menyebrangi sungai. Inilah yang kadang dijadikan wisata kecil-kecilan bagi tamu yang bertandang. Eretan beserta Mang Ntis dijadikan objek foto. Padahal bisa dibilang pemandangannya hanyalah sungai berwarna seperti susu coklat dengan semua limbah dimana-mana. Malah kini kadang kulihat beberapa travel tour menjadikan kompleks kami sebagai agenda wisatanya. Padahal ini jalan tikus kompleks.
Tapi bisa dibilang,justru jalan tikus ini lah yang menjadi jalan utama bagi sebagian besar penduduk kompleks. Karyawan,karyawati,anak sekolah, ibu-ibu yang belanja. Pagi hari,siang hari selalu disapa dengan ramah oleh Mang Ntis "duuuh,ayo neng..ati-atiiiii" atau "mau kemana a'?" kesempatan lainnya "kemana aja nih,gak pernah kelihatan lagi?" Dengan bahasa indonesia berlogat sunda Mang Ntis selalu menyapa semua orang tanpa terkecuali. Ditemani segelas kecil kopi yang disediakan oleh istrinya. Ia setia menunggu orang menyebrang. Tentu,tentu ia dibayar 500 per orang tiap kali naik. Kotak untuk memasukan uang tersebut disediakan di sampingnya. Harga yang sangat murah.dimana kalau lewat eretan tersebut,kami bisa menghemat waktu,hanya 15 menit sudah sampai pusat kota dan dekat dengan stasiun. Bandingkan jika lewat jalan utama yang memakan waktu satu jam belum terhitung kalau macet. Memang akan capai kalau tak terbiasa lewat eretan. Tapi kalau sudah terbiasa, akan jadi semacam olahraga ringan menaiki tangga,menyusuri perkampungan selama 15 menit. Dan keramahan Mang Ntis sangat menyegarkan di pagi hari saat kita diburu waktu.
Aku menggunakan eretan ini semenjak kelas 3 SD. Dan semenjak itulah aku setia pulang pergi lewat eretan. Melewati jalan utama hanya sesekali saja. Kalau memang sedang menggunakan mobil dan kalau hujan. Ya,kalau hujan memang eretan tidak bisa dilewati karena airnya naik,dan arusnya sangat deras. Terlalu berbahaya untuk menyeberang. Dulu waktu SD,kalau sungai banjir dan orang-orang sudah terlanjur di tepi sungai,maka rumah Mang Ntis yang memang di tepi sungai itu menjadi ramai. Orang ikut beristirahat duduk di depan rumahnya sambil menunggu air agak reda sedikit dan bisa kembali menyebrang. Dan dengan segala keramahannya,Mang Ntis menyediakan teh tawar hangat, pisang goreng yang kebanyakan tepung serta obrolan hangat. Bukan obrolan tentang trend terkini,bukan obrolan politik. Hanya hal-hal sederhana seperti masakan hari ini yang dimasak istrinya. Anaknya yang sedang sakit. Atau sebentar lagi memasuki bulan puasa. Tapi tetap membuat betah berjam-jam. Sehingga tak terasa sudah agak malam dan sungai sudah bisa disebrangi. Dulu ibu ku yang biasa ngobrol berjam-jam di depan rumah Mang Ntis,dengan aku kecil yang hanya bisa mengamati dan mendengarkan. Saat aku mulai berkuliah dan kerja, ternyata Mang Ntis pun memberikan layanan yang tidak ketinggalan jaman. Nomor handphonenya ia berikan pada penduduk kompleks. Sehingga jika dirasa Bogor hujan lebat kami bisa menelpon untuk menanyakan "eretan banjir tidak?". Yang dijawab "tidak." atau "ya.". Atau cukup ketik sms,dan kemudian balasannya ada. Simpel, cepat, murah. Rupanya Mang Ntis mengerti bahwa sekarang kondisi kerja atau kondisi sekolah atau kuliah semakin menggila,dan orang akan lebih memilih ingin cepat sampai rumah dan istirahat dibanding mengobrol menunggu air reda.
Dan kini lambat laun kuamati, yang menarik eretan kini diadakan semacam sistem jaga. Terkadang adiknya, anaknya,terkadang menantunya. Dan kini kulihat,Mang Ntis sekarang mengelola usaha kecil,mengumpulkan sampah-sampah yang lewat di sungai. Dibantu dengan seluruh keluarganya yang tinggal turun menurun di bantaran sungai. Usaha yang bagus, selain membantu meringankan beban sungai akibat limbah. Dan lagi sekarang taraf hidup orang kompleks meningkat. Rata-rata mempunyai kendaraan pribadi. Ditambah dengan masuknya ojek di kompleks kami. Aku pun jadi ragu,apakah eretan itu akan bisa bertahan lebih lama lagi. Dengan kondisiku pun yang jarang pulang. Tapi,aku bisa memastikan. Suatu saat aku pulang,dan Mang Ntis sedang bersantai depan rumahnya. Pasti akan terucap kata-kata berlogat sundanya "Neng,kemana aja gak pernah kelihatan?"
No comments:
Post a Comment